Wednesday, April 17, 2013

Divine Pathos

"Paulus, hamba Kristus Yesus, yang dipanggil menjadi rasul dan dikhususkan untuk memberitakan Injil Allah."
(Rom. 1:1)

"Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik pada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang."
(Luk. 4:18-19)

Paulus mendeskripsikan dirinya sebagai hamba Kristus Yesus, yang dipanggil dan dikhususkan untuk memberitakan Injil Allah. Hmm.. sepertinya gambaran yang tidak asing bukan? Ya, keterangan ini mengingatkan kita pada nabi-nabi Perjanjian Lama: Yesaya, yang dipanggil secara khusus lewat penglihatan Serafim dan takhta mahakudus TUHAN semesta alam (Yes. 6); Yeremia, yang telah dikuduskan/dikhususkan Allah sebelum pembentukannya dalam rahim sang ibu (Yer. 1); Musa, yang dipanggil melalui semak berduri yang menyala-nyala (Kel. 3). Bukankah Paulus pun mendapatkan panggilannya lewat penglihatan cahaya yang membutakan? Jelas, ia melakukan identifikasi diri dengan nabi-nabi Perjanjian Lama!

Siapakah para nabi Perjanjian Lama itu? Secara jitu, Abraham Joshua Heschel, filsuf dan teolog Yahudi kenamaan, menyebutnya sebagai orang-orang yang menangkap, lalu menyampaikan divine pathos, pathos ilahi. Apa maksudnya? Pathos berarti passion, emosi atau perasaan yang mendalam. Dalam Alkitab, kita menemukan emosi yang mendalam pada diri Allah itu dalam bentuk murka-Nya atas ketidakadilan, dan belas kasih-Nya pada yang menjadi korban. Para nabi adalah komunikator pathos ilahi tersebut. Ingat seruan nabi Yesaya?

"'Untuk apa itu korbanmu yang banyak-banyak?' firman TUHAN; 'Aku sudah jemu akan korban-korban bakaran berupa domba jantan dan akan lemak dari anak lembu gemukan; darah lembu jantan dan domba-domba dan kambing jantan tidak Kusukai. Apabila kamu datang untuk menghadap hadirat-Ku, siapakah yang menuntut itu dari padamu, bahwa kamu menginjak-injak pelataran Bait Suci-Ku? Jangan lagi membawa persembahanmu yang tidak sungguh, sebab baunya adalah kejijikan bagi-Ku. Kalau kamu merayakan bulan baru dan sabat atau mengadakan pertemuan-pertemuan, Aku tidak tahan melihatnya, karena perayaanmu itu penuh kejahatan. Perayaan-perayaan bulan barumu dan pertemuan-pertemuanmu yang tetap, Aku benci melihatnya; semuanya itu menjadi beban bagi-Ku, Aku telah payah menanggungnya. Apabila kamu menadahkan tanganmu untuk berdoa, Aku akan memalingkan muka-Ku, bahkan sekalipun kamu berkali-kali berdoa, Aku tidak akan mendengarkannya, sebab tanganmu penuh dengan darah. Basuhlah, bersihkanlah dirimu, jauhkanlah perbuatan-perbuatanmu yang jahat dari depan mata-Ku. Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda!" (Yes. 1:11-17)

"Sungguh-sungguh inikah berpuasa yang Kukehendaki, dan mengadakan hari merendahkan diri, jika engkau menundukkan kepala seperti gelagah dan membentangkan kain karung dan abu sebagai lapik tidur? Sungguh-sungguh itukah yang kausebutkan berpuasa, mengadakan hari yang berkenan pada TUHAN? Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk." (Yes. 58:5-6)

Spirit yang sama kita temukan dalam Manifesto Nazaret yang membuka babak pewartaan Yesus Kristus, Tuhan kita, terpetik di atas. Mengutip nabi Yesaya, ia memproklamasikan Roh Tuhan yang menguasai-Nya, menggerakkan-Nya untuk menyampaikan kabar baik pada orang-orang miskin, berita pembebasan bagi yang tertawan dan tertindas, bahwa tahun rahmat Tuhan, tahun Yobel, tahun pembebasan para budak, telah tiba!

Paulus, sang radikal-revolusioner, meneruskan estafet ini. Estafet pewartaan pathos ilahi. Murka-Nya pada penguasa lalim, ketidakadilan, dan mekanisme produksi korban; belas kasih-Nya pada mereka yang dibuat tak berdaya dalam tatanan ini. Masihkah kita temukan pathos ini disuarakan dalam pewartaan-pewartaan Kristiani hari ini?

Barangkali sejak pernikahannya dengan filsafat Yunani, tradisi Kristen berangsur-angsur meninggalkan dinamisitas profetisisme ini, dan beralih pada spekulasi metafisis yang sifatnya abstrak dan beku. Perkawinannya dengan kuasa mengebiri panji-panji revolusioner yang seharusnya menjadi inti. Yang material dispiritualisasikan dalam skema dualisme metafisis; yang sosial dipisahkan dari yang teologis; yang jasmani dikesampingkan dari yang rohani. Lagu-lagu gerejawi sifatnya meneduhkan hati, menenangkan jiwa, mengangkat emosi, tapi tidak membangkitkan dan mengekspresikan pathos ilahi.

Kalau dahulu, karena ketidaksetiaan orang-orang Yahudi, Allah membuat cangkokan yang baru dalam komunitas orang-orang tak bersunat (Rom. 11), jangan-jangan meredupnya tradisi profetik dalam gereja juga diresponi Allah dengan membangkitkan pribadi-pribadi 'terpilih' di luar sana untuk menyuarakan perasaan-Nya. Mengapa tidak? Batu-batupun bisa Ia buat berteriak! (bdk. Luk 19:40).

No comments:

Post a Comment