Friday, July 19, 2013

Melawan Penguasa-Penguasa Kerajaan Angkasa

Disusun sebagai kontribusi untuk bahan PA Sidang Raya PGI XVI, Nias, tahun 2014

Baru-baru ini, seorang satpam di gereja kami mengalami musibah. Rumahnya digusur tanpa ganti rugi, setelah satu minggu sebelumnya diberi peringatan untuk pindah. Pasalnya, ada perusahaan besar yang hendak membangun usaha di lokasi tersebut. Bukannya membela, pihak polisi justru mendesak saudara kami ini untuk segera pindah. Kasus ini tentu hanyalah salah satu di antara sekian banyak ketidakadilan yang terjadi di negeri ini.
            
Ceritakan kisah ketidakadilan yang terjadi di sekitarmu.

Kajian Teks
Teks Alkitab: Efesus 2:1-10
1 Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu. 2 Kamu hidup di dalamnya, karena kamu mengikuti jalan dunia ini, karena kamu mentaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka. 3 Sebenarnya dahulu kami semua juga terhitung di antara mereka, ketika kami hidup di dalam hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan pikiran kami yang jahat. Pada dasarnya kami adalah orang-orang yang harus dimurkai, sama seperti mereka yang lain. 4 Tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita, 5 telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita—oleh kasih karunia kamu diselamatkan—6 dan di dalam Kristus Yesus Ia telah membangkitkan kita juga dan memberikan tempat bersama-sama dengan Dia di sorga, 7 supaya pada masa yang akan datang Ia menunjukkan kepada kita kekayaan kasih karunia-Nya yang melimpah-limpah sesuai dengan kebaikan-Nya terhadap kita dalam Kristus Yesus. 8 Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, 9 itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri. 10 Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.

Penjelasan

Sidang Raya PGI XVI ini akan mengusung tema: “Dari Samudera Raya Bumi, Tuhan Mengangkat Kita Kembali.” Judul ini dirasa pas dengan apa yang terjadi di Nias beberapa tahun silam. Bencana alam yang berasal dari samudera raya, tsunami, memporak-porandakan habitat penduduk Nias dan menyebabkan berjatuhannya banyak korban. Berpadanan dengan pengalaman itu, di dalam Alkitab, samudera raya seringkali menjadi penggambaran ancaman kematian yang teramat mengerikan.

Tetapi kematian dan ancamannya tidak melulu berasal dari kedahsyatan kekuatan alam yang tak mampu dikontrol manusia seperti tsunami. Ancaman kematian pada kehidupan di bumi justru banyak berasal dari manusia sendiri. Hari ini ketika kita melihat fenomena kemiskinan, ketidakadilan, dan radikalisme, sesungguhnya kita disadarkan bahwa acapkali samudera raya itu justru adalah manusia sendiri, yang menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus).

Secara teologis, kekristenan melihat kegagalan manusia untuk menjadi sahabat bagi sesamanya (homo homini socius) sebagai bentuk kegagalannya mengimitasi Allah yang adalah Tritunggal. Allah yang pada hakikatnya adalah relasionalitas, kebersamaan tanpa reduksi partikularitas, keterbukaan tanpa pemiskinan identitas. Allah yang satu tanpa menjadi seragam, kompak sekaligus unik dalam fungsi dan karakter. Allah yang merangkul perbedaan tanpa menghilangkan kekhasan. Bukankah manusia, yang dicipta menurut gambar dan rupa-Nya, sepatutnya hidup sejalan dengan patron ini?

Syukurlah, kegagalan manusia bukanlah akhir dari segalanya. Karena sebagaimana bunyi tema kita, dari samudera raya Tuhan mengangkat kita kembali. Dari kematian, Ia akan membawa kita pada kehidupan. God of life, lead us to justice and peace (tema Sidang Dewan Gereja Dunia X di Busan, 2013).

Kebenaran ini pulalah yang kita temukan dalam bacaan Alkitab di atas. Dikatakan di sana bahwa kita dahulu sebenarnya telah mati oleh karena dosa-dosa dan pelanggaran kita (ay. 1), yakni ketika kita hidup di dalamnya, mengikuti jalan dunia, mentaati penguasa kerajaan angkasa (ay. 2). Siapakah yang dimaksud dengan “penguasa kerajaan angkasa” di sini? Mungkin kita berpikir bahwa sebutan ini merujuk pada kekuatan-kekuatan gaib seperti genderuwo, mak lampir, jailangkung, dan sejenisnya. Tetapi bukan itu yang dimaksud oleh Paulus. “Penguasa kerajaan angkasa” di sini adalah simbolisasi kuasa-kuasa yang beroposisi dengan Kerajaan Allah. Jika Kerajaan Allah berarti perwujudan nilai-nilai kasih, kebenaran, dan keadilan, maka “penguasa kerajaan angkasa” adalah segala kuasa yang membawa serta kebencian, penindasan, dan ketidakbenaran ke dalam dunia. Bukankah seringkali kita mendapati diri terjebak dalam mekanisme-mekanisme yang beroperasi secara vital di tengah-tengah dunia, di mana melaluinya berkembang praktek-praktek pemiskinan, diskriminasi, rasisme, eksploitasi, korupsi, dan juga kekerasan? Kenyataan ini menunjukkan bahwa kuasa-kuasa tadi sungguh-sungguh riil dan mengancam.

Tetapi “dari samudera raya Allah mengangkat kita kembali.” Dari kematian dan cara hidup yang membawa orang lain pada kematian, Allah menghidupkan kita kembali, semata-mata oleh kasih karunia (ay. 5), kekayaan rahmat dan kebesaran kasih-Nya (ay. 4). Di dalam Kristus Ia membangkitkan kita (ay. 6), Ia menciptakan kita secara baru di dalam Yesus Kristus, bukan supaya kita memegahkan diri (ay. 9), melainkan untuk melakukan pekerjaan baik yang telah Ia siapkan sebelumnya (ay. 10), bukan lagi ketaatan pada penguasa kerajaan angkasa, tapi pekerjaan demi kerajaan Allah: kasih, kebenaran, dan keadilan. Dan Ia mau agar kita hidup di dalamnya (ay. 10).

Kembali ke tiga pokok permasalahan yang menjadi fokus Sidang Raya PGI kali ini: kemiskinan, ketidakadilan, dan radikalisme. Di tengah situasi nasional hari ini di mana kesenjangan sosial demikian tinggi, biaya pendidikan dan kesehatan semakin mahal, sementara pemerintah dan wakil-wakil rakyat terus menelurkan kebijakan-kebijakan yang memihak si kaya, bagaimanakah seharusnya gereja sebagai perkumpulan orang-orang yang telah dihidupkan kembali oleh Allah melakukan pekerjaan baiknya bagi kerajaan Allah? Ketika sistem ekonomi yang beroperasi berkebalikan dengan apa yang digagas di awal kemerdekaan republik ini, dan alih-alih menyejahterakan rakyat banyak serta menciptakan keadilan sosial justru memperlebar jurang di antara yang berpunya dan yang tidak, bagaimana gereja menghayati panggilannya di negeri ini? Ketika praktek korupsi merajalela dan menjadi budaya, seberapa aktif gereja telah mengupayakan diri menjadi agen pembaharuan moral nasional? Ketika kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia dan tragedi-tragedi kemanusiaan di masa lalu kurang menjadi perhatian masyarakat dan pemerintah, serta terancam kepunahannya dalam memori kolektif bangsa, apa yang sudah dilakukan gereja? Ketika masih ada butir undang-undang, peraturan pemerintah, dan kebijakan-kebijakan yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas tertentu, atau yang dianggap pinggiran, apa yang dilakukan gereja? Dan ketika radikalisme agama bertumbuh kembang dengan suburnya di bumi Indonesia, membawa ancaman kekerasan serta teror, apakah gereja telah menjadi katalisator perdamaian, toleransi, dan keadilan? Ataukah dalam semua tantangan dan pergerakan “penguasa kerajaan angkasa” ini gereja justru larut dan menjadi serupa dengan dunia?

Biarlah Sidang Raya PGI XVI ini menjadi peringatan kembali bagi gereja-gereja di Indonesia untuk menjalankan fungsi profetiknya di kancah pergulatan nasional. Dari samudera raya Tuhan mengangkat kita kembali. God of life, lead us to justice and peace.

Pertanyaan Diskusi

1.      Dalam konteks global maupun nasional pada hari ini, menurut pengamatanmu, siapa sajakah yang menjadi perwujudan konkret sebutan “penguasa kerajaan angkasa”? Secara konkret pula, bagaimana mereka bekerja?

2.      Baca kembali 2 paragraf terakhir penjelasan di atas, diskusikan dan jawab pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkan di sana.


3.      Ingat kembali cerita-cerita tentang ketidakadilan di sekitarmu tadi. Sebagai orang-orang yang sudah dibangkitkan Allah di dalam Kristus, apa saja yang bisa anda kerjakan sebagai respon yang tepat (secara pribadi, sebagai gereja, masyarakat)?

Wednesday, April 17, 2013

Divine Pathos

"Paulus, hamba Kristus Yesus, yang dipanggil menjadi rasul dan dikhususkan untuk memberitakan Injil Allah."
(Rom. 1:1)

"Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik pada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang."
(Luk. 4:18-19)

Paulus mendeskripsikan dirinya sebagai hamba Kristus Yesus, yang dipanggil dan dikhususkan untuk memberitakan Injil Allah. Hmm.. sepertinya gambaran yang tidak asing bukan? Ya, keterangan ini mengingatkan kita pada nabi-nabi Perjanjian Lama: Yesaya, yang dipanggil secara khusus lewat penglihatan Serafim dan takhta mahakudus TUHAN semesta alam (Yes. 6); Yeremia, yang telah dikuduskan/dikhususkan Allah sebelum pembentukannya dalam rahim sang ibu (Yer. 1); Musa, yang dipanggil melalui semak berduri yang menyala-nyala (Kel. 3). Bukankah Paulus pun mendapatkan panggilannya lewat penglihatan cahaya yang membutakan? Jelas, ia melakukan identifikasi diri dengan nabi-nabi Perjanjian Lama!

Siapakah para nabi Perjanjian Lama itu? Secara jitu, Abraham Joshua Heschel, filsuf dan teolog Yahudi kenamaan, menyebutnya sebagai orang-orang yang menangkap, lalu menyampaikan divine pathos, pathos ilahi. Apa maksudnya? Pathos berarti passion, emosi atau perasaan yang mendalam. Dalam Alkitab, kita menemukan emosi yang mendalam pada diri Allah itu dalam bentuk murka-Nya atas ketidakadilan, dan belas kasih-Nya pada yang menjadi korban. Para nabi adalah komunikator pathos ilahi tersebut. Ingat seruan nabi Yesaya?

"'Untuk apa itu korbanmu yang banyak-banyak?' firman TUHAN; 'Aku sudah jemu akan korban-korban bakaran berupa domba jantan dan akan lemak dari anak lembu gemukan; darah lembu jantan dan domba-domba dan kambing jantan tidak Kusukai. Apabila kamu datang untuk menghadap hadirat-Ku, siapakah yang menuntut itu dari padamu, bahwa kamu menginjak-injak pelataran Bait Suci-Ku? Jangan lagi membawa persembahanmu yang tidak sungguh, sebab baunya adalah kejijikan bagi-Ku. Kalau kamu merayakan bulan baru dan sabat atau mengadakan pertemuan-pertemuan, Aku tidak tahan melihatnya, karena perayaanmu itu penuh kejahatan. Perayaan-perayaan bulan barumu dan pertemuan-pertemuanmu yang tetap, Aku benci melihatnya; semuanya itu menjadi beban bagi-Ku, Aku telah payah menanggungnya. Apabila kamu menadahkan tanganmu untuk berdoa, Aku akan memalingkan muka-Ku, bahkan sekalipun kamu berkali-kali berdoa, Aku tidak akan mendengarkannya, sebab tanganmu penuh dengan darah. Basuhlah, bersihkanlah dirimu, jauhkanlah perbuatan-perbuatanmu yang jahat dari depan mata-Ku. Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda!" (Yes. 1:11-17)

"Sungguh-sungguh inikah berpuasa yang Kukehendaki, dan mengadakan hari merendahkan diri, jika engkau menundukkan kepala seperti gelagah dan membentangkan kain karung dan abu sebagai lapik tidur? Sungguh-sungguh itukah yang kausebutkan berpuasa, mengadakan hari yang berkenan pada TUHAN? Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk." (Yes. 58:5-6)

Spirit yang sama kita temukan dalam Manifesto Nazaret yang membuka babak pewartaan Yesus Kristus, Tuhan kita, terpetik di atas. Mengutip nabi Yesaya, ia memproklamasikan Roh Tuhan yang menguasai-Nya, menggerakkan-Nya untuk menyampaikan kabar baik pada orang-orang miskin, berita pembebasan bagi yang tertawan dan tertindas, bahwa tahun rahmat Tuhan, tahun Yobel, tahun pembebasan para budak, telah tiba!

Paulus, sang radikal-revolusioner, meneruskan estafet ini. Estafet pewartaan pathos ilahi. Murka-Nya pada penguasa lalim, ketidakadilan, dan mekanisme produksi korban; belas kasih-Nya pada mereka yang dibuat tak berdaya dalam tatanan ini. Masihkah kita temukan pathos ini disuarakan dalam pewartaan-pewartaan Kristiani hari ini?

Barangkali sejak pernikahannya dengan filsafat Yunani, tradisi Kristen berangsur-angsur meninggalkan dinamisitas profetisisme ini, dan beralih pada spekulasi metafisis yang sifatnya abstrak dan beku. Perkawinannya dengan kuasa mengebiri panji-panji revolusioner yang seharusnya menjadi inti. Yang material dispiritualisasikan dalam skema dualisme metafisis; yang sosial dipisahkan dari yang teologis; yang jasmani dikesampingkan dari yang rohani. Lagu-lagu gerejawi sifatnya meneduhkan hati, menenangkan jiwa, mengangkat emosi, tapi tidak membangkitkan dan mengekspresikan pathos ilahi.

Kalau dahulu, karena ketidaksetiaan orang-orang Yahudi, Allah membuat cangkokan yang baru dalam komunitas orang-orang tak bersunat (Rom. 11), jangan-jangan meredupnya tradisi profetik dalam gereja juga diresponi Allah dengan membangkitkan pribadi-pribadi 'terpilih' di luar sana untuk menyuarakan perasaan-Nya. Mengapa tidak? Batu-batupun bisa Ia buat berteriak! (bdk. Luk 19:40).

Liberte, Egalite, Fraternite

Surat Paulus kepada Filemon memang pendek, mungkin terpendek di antara kitab-kitab Alkitab lainnya. Namun demikian, isi surat ini luar biasa dahsyatnya.

Sebagaimana bisa terlihat dalam isi surat, latar belakang interaksi Paulus dengan Filemon lewat surat ini adalah larinya Onesimus, budak Filemon, dari sang tuan. Ada indikasi bahwa kesalahan Onesimus bukan hanya terletak pada pelariannya, tetapi kemungkinan juga menyangkut kerugian materi yang ia sebabkan (ay. 18). Sebagaimana menjadi kebiasaan pada masa itu, Onesimus pergi berlindung pada sosok yang dianggap punya status lebih tinggi daripada tuannya. Pilihannya jatuh pada rasul Paulus, pemimpin jemaat.

Pada zaman itu perbudakan adalah sebuah praktek yang umum dan dianggap lazim. Kepemilikan seorang tuan atas diri budaknya bisa demikian mutlak, hingga mencakup hak mencabut nyawa. Karena itu betapa radikalnya apa yang disampaikan Paulus kepada Filemon ini:

"Sebab mungkin karena itulah dia dipisahkan sejenak dari padamu, supaya engkau dapat menerimanya untuk selama-lamanya, bukan lagi sebagai hamba, melainkan lebih dari pada hamba, yaitu sebagai saudara yang kekasih, bagiku sudah demikian, apalagi bagimu, baik sebagai manusia maupun di dalam Tuhan." (Flm. 15-16)

Perhatikan frase dia dipisahkan sejenak dari padamu. Dalam tata bahasa Yunani yang digunakan dalam Perjanjian Baru, kata kerja pasif tanpa subjek pelaku seringkali secara rahasia merujuk pada Allah. Jadi, keterpisahan sejenak Onesimus dari Filemon, dilihat Paulus sebagai sesuatu yang mungkin adalah bagian dari rencana Tuhan. Rencana untuk mengadakan apa? Supaya engkau dapat menerimanya untuk selama-lamanya, bukan lagi sebagai hamba, melainkan lebih dari pada hamba, yaitu sebagai saudara yang kekasih. Loh, bukankah dalam analisis latar belakang surat tadi Onesimus terindikasi bersalah? Ya, tapi Paulus justru membebaskannya! Liberte!

Apa status Onesimus setelahnya, menurut himbauan rasul Paulus? Bukan lagi sebagai hamba, melainkan lebih dari pada hamba, yaitu sebagai saudara. Saudara? Saudara dalam Tuhan sajakah maksudnya? Dalam pengertian bahwa semua orang percaya memang status rohaninya setara, tapi selama masih di bumi tetap tajam dalam stratifikasi, begitukah? Sama sekali tidak! Karena rasul Paulus mengatakan, baik secara manusia maupun di dalam Tuhan. Dengan kata lain, baik secara jasmani, maupun secara rohani; baik secara material maupun spiritual; baik secara teologis maupun sosial. Inilah fraternite sejati!

Liberte, egalite, fraternite. Kemerdekaan, kesetaraan, persaudaraan. Ketiganya merupakan semboyan revolusi Perancis. Ketiganya pula sesungguhnya merupakan tema surat Filemon. Liberte, pembebasan budak. Fraternite, persaudaraan rohani maupun jasmani. Lalu bagaimana dengan egalite?

Perhatikan ayat 22:

"Dalam pada itu bersedialah juga memberi tumpangan kepadaku, karena aku harap oleh doamu aku akan dikembalikan padamu."

Siapakah Filemon, sampai-sampai rohaniwan sekaliber rasul Paulus menaruh harapnya pada doa jemaat awam ini? Bukankah dalam tradisi Yahudi dan agama-agama kuno, seorang imam atau agamawan berperan sebagai pengantara Allah dengan manusia? Paulus meniadakan kesenjangan itu. Filemon, 'orang biasa' pun bisa jadi perantara karya Allah pada rasul seperti dirinya. Egalite!

Liberte, egalite, fraterniteVive la revolution!

Grace and Peace

"Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai kamu." (2Kor. 12:2)

Kasih karunia dan damai sejahtera. Formula yang tentu tak asing bagi kita yang kerap beribadah di gereja pada hari Minggu. Meski demikian, sadarkah kita betapa revolusionernya ungkapan ini?

Kasih karunia dan damai sejahtera adalah bahasa propaganda kekaisaran Romawi. The grace of the Emperor: bestowing peace upon the land. Pax Romana.

Ya, damai yang dicapai lewat penjajahan, tuntutan pajak, perbudakan. Damai yang mengisyaratkan ketundukan. Damai semu!

Bukankah pola serupa masih kita temukan hari ini? Janji kemakmuran bersama dalam tatanan perekonomian kapitalisme global dan perdamaian dunia yang dikukuhkan oleh kedigdayaan negeri adikuasa bernama Amerika. Intervensi-intervensi militer, politik, dan ekonomi di negara-negara lain atas nama demokrasi dan kebebasan. Sementara sesungguhnya yang terjadi adalah kemakmuran segelintir orang di salah satu belahan dunia beserta kroni-kroninya, hasil eksploitasi keji di belahan lainnya; damai yang mengisyaratkan ketundukan; politik devide et impera berkedok agenda demokratisasi.

Layaknya seorang nabi, Paulus mengatakan tidak pada janji-janji palsu penguasa dunia ini. Ia membuka dan menutup surat-suratnya dengan salam bernada radikal: kasih karunia dan damai sejahtera, bukan dari kurios kekaisaran Romawi, melainkan dari Kristus, Mesias yang tersalib. Terpujilah Dia!

Friday, April 12, 2013

Berhembuslah Roh Kudus

"Tetapi yang kami beritakan ialah hikmat Allah yang tersembunyi dan rahasia, yang sebelum dunia dijadikan, telah disediakan Allah bagi kemuliaan kita." (1Kor. 2:7)

Ideologi penguasa bekerja dengan begitu hebatnya, membutakan mata banyak orang dan menciptakan keraguan, bahkan ketakutan untuk membayangkan dunia yang lebih baik. Sikap pragmatis seringkali menjadi solusi pilihan. Tak apa menghamba pada penguasa, yang penting kita survive, syukur-syukur ada berkat lebih untuk dibagikan pada yang 'kurang beruntung'. Agama pun seolah membenarkan kenyataan ini: kita memang hidup di dunia berdosa yang tidak akan pernah sempurna. Tak usah heran kalau kenyataan ketidakadilan kita jumpai sehari-hari. Ini adalah sebuah keniscayaan. Yang sempurna baru akan kita temukan di sorga. Jangan fokus pada apa yang sementara, pusatkanlah perhatianmu pada apa yang kekal di sorga kelak. Betapa kontrasnya cara pikir seperti ini dengan karakter subversif-revolusioner kekristenan mula-mula!

Ketika benteng ideologi terlalu kokoh untuk ditembus dan penjaga-penjaganya demikian perkasa, maka revolusi memerlukan infiltrasi dari yang transenden. Inilah yang dalam bahasa Paulus disebut sebagai hikmat Allah yang tersembunyi dan rahasia, yang "dinyatakan Allah pada kita melalui Roh yang menyatakan hal-hal yang tersembunyi" (1Kor. 2:10).

"Apa yang tak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia." (1Kor. 2:9, kutipan dari Yes. 64:4)

Ayat yang dijadikan lagu rohani kontemporer populer tersebut ternyata amat revolusioner. Ya, revolusi perlu Roh! Roh penyingkap rahasia ilahi tentang Tuhan yang tersalib. Roh yang menyadarkan manusia akan gerak tersembunyi Allah dalam dunia, yang beroposisi total dengan segala bentuk imperialisme, lalu menggerakkan manusia 'terpilih' tadi untuk terlibat. Roh yang membukakan rahasia yang disediakan Allah bagi kemuliaan kita, yaitu semua yang teridentifikasi dan mengidentifikasikan diri dengan salib, balikan total hegemoni kuasa. Come, o Holy Spirit, revive your people!

Hati-hatilah dengan Filsafat Kosong dan Palsu

"Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus." (Kol. 2:8)

Hati-hatilah dengan filsafat kosong dan palsu. Mungkin kita sering mendengar ujaran ini digunakan untuk menegur atau menghalangi seseorang dari buku-buku filsafat yang dianggap membahayakan iman. Baca Alkitab saja, jangan buku-buku filsafat, demikian biasanya nasehat itu terdengar.

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan 'filsafat kosong dan palsu' di sini? Penulis memang tidak menyebutkannya secara eksplisit, tetapi ada indikator-indikator yang dapat membuka kemungkinan tafsir:

1. Sumber filsafat kosong dan palsu ini, yaitu "ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia" berantitesis dengan Kristus.
2. "Roh-roh dunia" adalah terjemahan dari ta stoicheia tou kosmou. Kata stoicheia memang terdengar seperti 'Stoa', menggoda kita untuk berpikir bahwa penulis merujuk pada filsafat Stoa. Tetapi stoicheia dalam Alkitab biasa diterjemahkan sebagai unsur-unsur/elemen-elemen, atau bahkan struktur-struktur!
3. Ayat 15, puncak argumentasi penulis dalam paragraf himbauan berhati-hati ini mengoposisikan total Kristus dengan pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa dunia:

"(pada kayu salib) Ia telah melucuti pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa dan menjadikan mereka tontonan umum dalam kemenangan-Nya atas mereka."

Di atas kayu salib, Kristus yang ditelanjangi dan dipermalukan sesungguhnya justru melucuti pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa dunia, dan menjadikan mereka tontonan umum dalam parade kemenangan-Nya. Lewat ketersalibannya, Kristus mengungkap borok abadi penguasa: viktimisasi atau produksi korban.

Inilah 'filsafat kosong dan palsu' itu: ideologi yang bekerja menurut struktur-struktur dunia, yaitu ideologi pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa dunia yang adalah oposisi mutlak dari Kristus yang tersalib!

Apa ideologi penguasa dunia hari ini? Apa lagi kalau bukan kapitalisme, imperialisme, neoliberalisme, dan turunan-turunannya. Ideologi pendukung tatanan yang tak henti-hentinya memproduksi korban lewat mekanisme eksploitasi dan penindasan. Dalam tulisan yang lalu telah disinggung kebijakan-kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang berciri imperial. Pertanyaannya, mengapa Amerika Serikat menjadi negara imperialis? Karena tuntutan alami dari sistem kapitalisme! Kontradiksi-kontradiksi internal dalam tubuh kapitalisme yang membawa pada kehancurannya bisa ditunda efektivitasnya lewat perluasan kekuasaan. Dengan penguasaan atas negara-negara lain, masalah keterbatasan bahan produksi serta peningkatan tuntutan buruh dapat teratasi. Sumber daya alam negara lain dieksploitasi bebas atau dengan ongkos murah, pabrik-pabrik tempat kerja kasar dilakukan dipindah ke negara-negara dunia ketiga, di mana upah buruh jauh lebih murah (dengan dukungan pemerintah boneka). Benarlah analisis Lenin di tahun 1907, bahwa alasan nubuat Marx mengenai krisis kapitalisme belum tergenapi adalah karena sistem kapitalisme dalam negara-negara industri maju di Barat telah memperbarui daya-daya pendukungnya lewat ekspansi ke negara-negara yang belum terlalu berkembang: dengan kata lain, lewat imperialisme. Analisis yang sama sering disuarakan oleh Soekarno, bahwa sesungguhnya imperialisme adalah anak kandung kapitalisme, dan karena itu, revolusi Indonesia tidak boleh berhenti hanya pada perjuangan melawan imperialisme, melainkan harus juga menjadi perjuangan untuk menumbangkan kapitalisme.

Kalau hari ini banyak orang tidak lagi melihat problem moral-sosial kapitalisme, menganggapnya normal atau alami, melihatnya sebagai suatu keniscayaan, berhenti memikirkan solusi alternatif atau berpuas dengan cara pragmatis (capitalism with a human face), ini pertanda kuat bahwa ideologi penguasa dunia ini sedang bekerja dengan begitu hebatnya!

Thursday, April 11, 2013

Hikmat Subversif

"Sungguhpun demikian kami memberitakan hikmat di kalangan mereka yang telah matang, yaitu hikmat yang bukan dari dunia ini, dan yang bukan dari penguasa-penguasa dunia ini, yaitu penguasa-penguasa yang akan ditiadakan." (1Kor. 2:6)

"Tidak ada dari penguasa dunia ini yang mengenalnya, sebab kalau sekiranya mereka mengenalnya, mereka tidak menyalibkan Tuhan yang mulia." (1Kor. 2:8)

Apa yang Paulus wartakan semasa hidupnya? Kristus yang tersalib (1Kor. 1:23). Ia menyebut berita ini sebagai, "hikmat yang bukan dari dunia ini, yang bukan dari penguasa-penguasa dunia ini, yang tidak dikenal mereka yang akan ditiadakan."

Dalam kekaisaran Romawi, salib adalah lambang pemberontakan. Lambang oposisi terhadap tatanan kerajaan. Spartakus, misalnya, pada abad pertama SM memimpin pemberontakan para budak yang berujung pada penyaliban 6000 anggota kelompoknya. Salib adalah antitesis kekuasaan!

Kita lihat kembali teks 1Kor. 2:6,8 yang telah terkutip di atas. Betapa subversifnya teks ini! Secara eksplisit, rasul Paulus bahkan terang-terangan membuat oposisi tajam antara hikmat mengenai salib, yang diwartakannya itu, dengan hikmat penguasa-penguasa dunia, penguasa-penguasa yang akan ditiadakan. Christian proclamation is revolutionary to the core! 

Hari ini kekaisaran Romawi telah lenyap. Tapi penguasa-penguasa dunia tetap ada. Noam Chomsky, dalam tulisannya, What Uncle Sam Really Wants, mengungkap kebijakan-kebijakan imperialis Amerika Serikat sejak Perang Dunia II berakhir. Ia mengutip dokumen Policy Planning Study 23, buatan George Kennan, kepala departemen perencanaan negara, tahun 1948:

We have about 50% of the world's wealth but only 6.3% of its population.... In this situation, we cannot fail to be the object of envy and resentment. Our real task in the coming period is to devise a pattern of relationships which will permit us to maintain this disparity.

Bagaimana menjaga disparity ini tetap ada? Dalam pengamatan Kennan, perhatian utama kebijakan luar negeri AS haruslah "the protection of our [i.e. Latin America's] raw materials." Dan dalam rangka itu, ideologi 'sesat' yang tersebar di Amerika Latin, "the idea that the government has direct responsibility for the welfare of the people," harus diperangi. Bayangkan, sumber daya alam negara-negara lain diklaim sebagai ours, dan ideologi yang pro-kesejahteraan rakyat dilihat sebagai ancaman. Mengapa demikian? Chomsky mendapati, "A high-level study group in 1955 stated that the essential threat of the Communist powers is their refusal to fulfill their service role--that is, to complement the industrial economies of the West." Alasan sikap anti-komunisme Amerika adalah penolakan ideologi tersebut akan imperialisme AS!

Bukan cuma di Amerika Latin, seluruh 'Grand Area', wilayah negara-negara 'dunia ketiga' diberi 'takdir' untuk jadi perahan kekaisaran ini. "The Third World was to fulfill its major function as a source of raw materials and a market for the industrial capitalist societies (1949 State Department memo)." Kita yang tinggal di Indonesia juga tidak luput dari cengkeraman imperial ini. Dalam buku terjemahan yang baru saja diterbitkan Komunitas Bambu, Teror Orde Baru, Julie Southwood dan Patrick Flanagan, penulis dan dosen ilmu politik di University of Adelaide menyuguhkan data-data yang secara kuat mendukung teori mengenai keterlibatan CIA dalam kudeta 1965. Salah satunya, surat Neville Maxwell pada New York Review of Books yang mencatat komunikasi petugas-petugas kementerian luar negeri Pakistan tentang informasi dari intelijen Barat bahwa "Indonesia siap jatuh ke pangkuan Barat seperti sebuah 'apel busuk'. Badan-badan intelijen Barat akan mengatur kudeta komunis prematur ... (yang akan) ditakdirkan untuk gagal sehingga memberi tentara legitimasi untuk menumpas komunis dan menjadikan Soekarno tahanan untuk kepentingan tentara." Masuk akal. Sejak Orde Baru, negara kita memang dijual habis-habisan pada Amerika. Kontras betul dengan kebijakan yang dipegang pemerintahan sebelumnya.

Ironisnya, bukankah bahasa-bahasa 'rohani' Kristiani justru identik dengan dan sering terdengar di Amerika? Ingat film-film action Hollywood yang mengisahkan ancaman teror pada Amerika, yang seringkali diakhiri dengan pidato Presiden pada segenap warganya? Slogan penutupnya selalu berbunyi, 'God bless America.' Ingat George W. Bush, presiden Amerika yang tanpa alasan jelas menginvasi Irak? Beliau adalah seorang guru Sekolah Minggu!

Kekristenan seperti inikah yang diwartakan oleh rasul Paulus? Jelas bukan.

Mengapa Umat Kristen Mula-mula Dianiaya?

Mengapa umat Kristen mula-mula sampai dianiaya kekaisaran Romawi kuno? Sekiranya mereka sekadar mewartakan surga, ganti neraka; atau bersedekah, berbagi berkat pada orang-orang miskin, rasa-rasanya kok agak janggal kalau konsekuensinya demikian seram.

Saya rasa penganiayaan itu muncul karena pewartaan dan kehidupan berkomunitas orang-orang Kristen yang terdengar subversif dan mengganggu tatanan kekuasaan kekaisaran Romawi pada masa itu. There is something revolutionary in Christian practices that disturbs the rulers of this world.

Sebagai gambaran besar:
- Warta Kerajaan Allah di tengah-tengah kerajaan Romawi.
- Sebutan kurios (Tuhan) untuk Yesus Kristus yang tersalib (lambang pemberontakan dalam kekaisaran Romawi), yang adalah sebutan bagi Kaisar.
- Istilah "Injil" (euanggelion) adalah istilah yang biasa digunakan kekaisaran Romawi dalam pemberitaan tentang kelahiran atau kemenangan Kaisar.
- Formula "kasih karunia dan damai sejahtera" (grace and peace) yang biasa digunakan rasul Paulus dalam surat-suratnya, adalah formula yang biasa digunakan kekaisaran Romawi dalam propaganda-propagandanya.
- Di tengah-tengah tatanan masyarakat yang amat tajam dalam hierarki, Paulus mewartakan bahwa di dalam Kristus "tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan."

"Mereka semua bertindak melawan ketetapan-ketetapan Kaisar dengan mengatakan, bahwa ada seorang raja lain, yaitu Yesus." (Kis. 17:7)

Neither charity nor evangelism leads towards persecution. The reason must be this: the early Christianity was revolutionary to the core!